Naskah Monolog “Sisih”

Karya : Anggota Muda XIV KSB ULM

“SISIH”

(TERDENGAR MUSIK MENGALUN PELAN SEBAGAI PENGGAMBARAN SUASANA YANG PENUH KEHANGATAN DAN KEDAMAIAN. SUASANA PANGGUNG RAMAI DENGAN AKTIVITAS MASYARAKAT DI BANTARAN SUNGAI. TERLIHAT SEORANG NENEK TUA DENGAN SEBUAH TONGKAT YANG DIPEGANG ERAT BERDIRI DI TENGAH-TENGAH KERAMAIAN MASYARAKAT YANG SIBUK DENGAN AKTIVITASNYA MASING-MASING, SEBUAH SELENDANG DI KEPALANYA TERLIHAT MENUTUPI SEBAGIAN WAJAHNYA. NENEK TUA ITU MELIHAT SEKITAR, PARA WANITA DI SANA ASIK BERBINCANG SAMBIL MENCUCI BAJU DI LANTING DAN BEBERAPA LAKI-LAKI SEDANG MEMPERBAIKI  JUKUNG YANG BIASANYA DIGUNAKAN SEBAGAI ALAT TRANSPORTASI UNTUK MEMANCING, BERDAGANG, ATAU UNTUK MENUJU KE SUATU TEMPAT. DI TENGAH KERAMAIAN TERLIHAT ANAK-ANAK KECIL DENGAN BAJU YANG SUDAH DITANGGALKAN DARI BADANNYA DAN DILETAKKAN KE SEMBARANG TEMPAT DENGAN RAMBUT YANG TERLIHAT MASIH BASAH DAN ACAK-ACAKAN SEPERTI BARU SELESAI MANDI,  SESEKALI ANAK-ANAK ITU MEMPERAGAKAN BEBERAPA GAYA RENANG ANEH YANG MENGHASILKAN GELAK TAWA ANAK-ANAK YANG LAINNYA. SUASANA SAAT ITU TERASA RAMAI, NENEK TUA TERSENYUM.)

“Dengarlah kalian! Saya yang berdiri disini sebagai saksi bisu dari sebuah kebudayaan yang tumbuh dan berkembang di sepanjang aliran dari hulu sampai selatan… yang membawa mereka pada sebuah kemakmuran makhluk ilahi di masa silam. Mata tuaku yang terus menyaksikan ibu-ibu dan bapak-bapak yang tak mengenal musim penghujan dan kemarau, menyibak aliran dengan jukung-jukung yang dibuatnya itu… dan menyisihkan kumpulan ilung-ilung yang selalu kupelihara di dalamnya … (MENUNJUK LAKI-LAKI YANG SEDANG MEMPERBAIKI JUKUNG). Setiap hari kurasakan desiran gelombang dari baling-baling mesin jukung yang memecah keheningan sepanjang alurku. Dan para wanita itu! dengan kain setengah dada yang dipakai dengan perbincangan mereka yang sesekali diselingi riuh tawa yang bergema ditelingaku, bersamaan dengan kembang rambai, kasturi, dan jingah yang hanyut menyelimuti tubuhku. Dan suara anak-anak yang selalu membuatku ramai. Saat itulah…saat segalanya masih kurasakan kehangatan, saat rumah lanting dan anak-anak yang berenang dengan riang gembira masih kusambut dengan ramah. Kini aku sudah tua, itulah sedikit banyaknya kenangan yang kuingat. Namun segalanya sekarang telah menghilang.”

(SEGALA AKTIVITAS MASYARAKAT YANG TADINYA RAMAI TERHENTI, MEREKA MENINGGALKAN PANGGUNG)

Perubahan zaman telah membawaku kepada keasingan, suara-suara mesin jukung kian jarang kudengar, jukung yang terkatung-katung tak lagi dibelai pemiliknya, ditinggalkan berlumut dan lapuk, suara-suara cempreng anak kecil yang sering kudengar dan bunyi langkah kaki berlarian di bantaran. Kemanaa?? Mereka meninggalkan segala kasih yang telah kuberikan, telah kuberikan kedaiaman arus  dan angin lembut untuk mereka, dalam pasang-surutku mengalir tak kunjung kalian hadir, Kemana kalian yang dulu? Aku merindukan segala sesuatu yang kalian berikan padaku. Kini, keberadaanku tiada arti, serupa genangan air berjelaga, maknanya telah hilang, aku telah mati oleh penghianatan…”

(NENEK TUA MENGHENTAKKAN TONGKATNYA)

 (DARI BELAKANG PANGGUNG MUNCUL ORANG-ORANG ASING YANG MELEMPARI SAMPAH-SAMPAH KEPADA NENEK TUA, TUBUHNYA PENUH LUMPUR, BAU, DAN MENGHITAM. SEISI PANGGUNG PENUH DENGAN SAMPAH)

 “Ya! Inilah penghianatan, manusia bejad, tak tahu terima kasih, lupa pada ibu mereka sendiri! Peradaban yang sedang berjalan sekarang adalah sesuatu yang sangat asing bagiku, Mereka hinakan aku dengan melempariku sampah-sampah busuk  yang tergenang bertahun-tahun. Aku pun ikut membusuk bersama bau dan tercemar, coklat, dan penuh lumpur. Cucu cicitku acuh, seperti tak mengenal siapa moyangnya, tak mau menyapa dengan baik kecuali dengan puntung rokok yang dibuang ke arahku. Marwah ku telah nista, mereka telah lupa, merekalah manusia.”

            “Aku bertanya-tanya apakah ini memang murni keinginan mereka sendiri seperti ini? Atau kedahsyatan perkembangan sekarang yang tak bisa dihindari sama sekali? Lalu bagaimana denganku? Apakah aku akan segera mati ditelan zaman? Tapi manusia-manusia itu jahat sekali, seharusnya kita bisa berjalan beriringan tanpa membuat salah satu dari kita tertinggal jauh dan terasingkan. Mereka sudah membuatku jadi sesuatu yang sangat hina dengan kotoran yang dilemparkannya padaku itu. Akibat ulah mereka sendiri…rumah-rumah dengan kakinya yang panjang itu dirobohkan oleh tangan-tangan pejabat, lalu mereka meninggalkanku berjalan sendirian, tidak peduli betapa sesak dan sempitnya nafasku karena luasnya hamparan lelehan batu bara yang bisa memotong tubuhku…kalian menghimpit dan mematikanku. Perubahan zaman membawa mereka untuk meninggalkanku dan lebih memilih kemegahan daratan, bergelimang dalam kenyamanan era globalisasi.”

            “Kemarin para pejabat berseru kepadaku, begini katanya “hei nenek tua yang malang, kau telah egois pada anak-anakmu, ketahuilah, zaman sudah berubah dan kau pun juga, kau selalu ingin dikasihi namun keegoisanmu itu akan membuat anak cucumu terkurung dari peradaban yang semakin maju, tidak bisa berkembang, apakah kau mau anak cucumu bodoh?”

            “Lalu aku tersentak, aku memang menginginkan anak cucuku masih bersamaku, silakan juga jika memang mereka ingin menyerap kemajuan zaman, tapi kali ini mereka sudah melakukan kesalahan yang fatal, mereka benar-benar melupakanku, sekarang yang tersisa hanya tubuh yang tidak berguna dan hina, yang hanya dipandang sebagai tempat pembuangan sampah.”

(LAMPU SOROT)

“Bertahun-tahun aku menanggung sakit, menanti seruan maaf dan kasih, walau akhirnya rasanya tak ada gunanya, maka jadilah aku sebuah kemarahan, jadilah aku sebuah penyesalan, kubiarkan bencana datang, kusapa cicitku dengan memporak porandakan rumah-rumah mereka, menjarah setiap sudut kamar-kamar dan mematahkan lanting-lanting itu, aku datang sebagai ketakutan untuk mereka, kuadili mereka! Jadilah aku yang mengenggelamkan hidup mereka agar pulang bersamaku ke dasar yang berlumpur dan penuh kotoran. Biarkan aku sebagai wujud yang keji, wujud kemarahan seorang ibu, aku datang sebagai arus yang telah dilupakan. Sebab jika telah hilang gunaku untuk mereka, maka jadilah aku sebagai bencana. Agar aku tak terlupakan dari ingatan mereka.

(TIBA-TIBA ADA SEPASANG TANGAN YANG MENARIK NENEK TUA PADA KEGELAPAN DIIRINGI DENGAN SUARANYA YANG MENJERIT DAN BERTERIAK)

“Enyahlah kalian! Tenggelamlah ke dasar yang paling dalam bersamaku!!!

(BLACK OUT)

(FADE IN)

(NENEK TUA TERBARING LEMAH TAK BERDAYA DENGAN KEADAAN BAJUNYA YANG BASAH KUYUP LALU ADA SESEORANG YANG MENGHAMPIRI, MEMBERSIHKAN WAJAH NENEK TUA DARI LUMPUR HITAM DAN SAMPAH-SAMPAH LALU MEMBERIKAN TONGKAT UNTUK MEMBANTU NENEK TUA BERJALAN).

(BLACK OUT)

Tinggalkan komentar